Suatu hari beberapa bulan yang lalu, mungkin April atau Mei, ketika sedang ramainya perdebatan masalah Raperda Miras di kota Bandung, saya duduk di bus Damri menuju Bandung dari Jatinangor. Sebenarnya itu perjalanan biasa aja seandainya tidak ada pengamen dengan tampang preman yang masuk membuat saya berfikir tentang banyak hal.

Pengamen tersebut dengan bahasa sunda menceritakan tentang kesedihan dan kekecewaannya ketika Raperda tentang miras dibahas dan disetujui oleh semua partai, termasuk partai Islam. Lalu dia menyebutkan bahwa Hizbut Tahrir-lah satu-satunya yang tegas menolak karena itu bertentangan dengan Islam. Dia mengajak kepada seluruh penghuni damri untuk mendukung Hizb dan mendoakan semoga Raperda tersebut tidak jadi disahkan. Opini pengamen tersebut ditutup dengan pengingat bahwa Bandung adalah kota bermartabat dan seharusnya seluruh warga Bandung menolak Raperda ini. Terus, setelah cuap-cuap panjang lebar sang pengamen pun menyanyikan lagu setema, cuma saya lupa judulnya apa.

Dia, jelas bukan aktivis Hizb, tapi kenapa dia mau menjadi 'jubir' Hizb di Damri pada saat itu? Dibayar, kah? Atau atas dasar kesadaran, kah? Saya percaya yang kedua. Kenapa bisa ada orang-orang yang seperti itu tentu tidak terlepas dari opini yang dilakukan oleh Hizb itu sendiri. Mungin pak pengamen shalat Jumat di mesjid yang khotibnya dari Hizb, atau ada yg ngobrol sama dia atau denger di radio, atau nonton pas Hizb lagi rally di jalan atau.. banyak banget kemungkinan dari mana dia teropinikan. Wallahu’alam dia dapat dari mana.

Aktifitas Hizb dalam masa tafa’ul ini memang seharusnya melahirkan ummat yang menjadi jubir-jubir Hizb. Mereka memberikan suaranya untuk Hizb. Tapi tidak seperti memberikan suara partai lain yang dilakukan lima tahun sekali, namun mereka memberikan suaranya setiap hari. Suara mereka bukan berbentuk pencontrengan yang bisu, tapi suara mereka adalah udara yang keluar dari tenggorokan yang membentuk bunyi-bunyi opini Islam. Mungkin disitulah uniknya Hizb dari partai-partai lainnya. Hal yang serius ditekuninya adalah membentuk kesadaran dan opini umum. Kesadaran yang melahirkan suara-suara bising dan berani untuk menuntut penerapan syariah dan khilafah. Sementara partai lain fokus untuk mendulang suara-suara bisu berupa contrengan, itu pun hanya ketika pemilu atau pemilukada.

Hanya saja, sedikitnya pengamen seperti yang saya temui beberapa bulan yang lalu itu menunjukkan bahwa PR aktivis Hizb dalam fase tafa’ul ini masih sangat banyak. Kita masih jauh dari disebut berhasil membentuk kesadaran dan opini umum.

Jadi, ayo bangkit kawan. Jangan betah didalam selimut dan memperpanjang tidur. Masih banyak yang harus kita kerjakan. Jadilah jubir Islam setiap harinya.

Mari kita dulang suara bising sebanyak-banyaknya!

Insya Allah pertolongan Allah itu dekat.

Jatinangor,
14 Desember 2010