Daoed Joesoef dan Kontes Putri-Putrian
Jika pendukung kontes ratu-ratuan enggan mendengar pendapat
yang masih berbau agama, ada baiknya juga disimak pendapat Dr. Daoed Joesoef,
seorang cendekiawan yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai tokoh sekular.
Daoed Joesoef pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) selama satu periode (1977-1982). Semasa hidupnya, Daoed Joesoef dikenal dengan pemikirannya yang sekular.
Daoed Joesoef pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) selama satu periode (1977-1982). Semasa hidupnya, Daoed Joesoef dikenal dengan pemikirannya yang sekular.
Pemikirannya yang sekular telah banyak mengundang kritik
dari para tokoh Islam. Tetapi, ada satu sisi pemikirannya sejalan dengan
tokoh-tokoh Islam di Indonesia, yaitu kritik-kritiknya yang keras dan tajam
terhadap keberadaan kontes ratu-ratuan. Daoed Joesoef adalah doktor lulusan
Sorbonne Perancis (1972) dan Ketua Dewan Direktur CSIS (1972-1998). Ia juga
pernah menjadi anggota pengurus organisasi ”Angkatan Seni Rupa Indonesia” di
Medan (1946), dan Ketua cabang Yogyakarta untuk organisasi ”Seniman Indonesia
Muda” (1946-1947).
Betapa sekularnya pemikiran Daoed Joesoef bisa disimak dari
sikapnya yang tidak mau mengucapkan salam Islam saat menjabat Menteri P&K.
Dalam memoarnya yang terbit tahun 2006 berjudul ”Dia dan Aku: Memoar Pencari
Kebenaran”, Daoed Joesoef memberikan alasan: "Aku katakan, bahwa aku berpidato
sebagai Menteri dari Negara Republik Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan
yang serba majemuk, multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan
asal-usul, dan lain-lain, bukan negara agama dan pasti bukan negara Islam."
Tentu saja, jika diukur pada tataran sekarang, pandangan dan
sikap Daoed Joesoef semacam itu tampak ganjil. Tetapi, tidak semua pendapat
Daoed Joesoef perlu ditolak. Ada pendapatnya yang sangat menarik untuk disimak
dan direnungkan. Sebagai cendekiawan, pandangannya terhadap berbagai jenis
kontes ratu kecantikan, bisa dikatakan sangat tajam dan mendasar.
Saat menjadi Menteri P&K pula, Daoed Joesoef menyatakan
secara terbuka penolakannya terhadap segala jenis pemilihan miss dan ratu
kecantikan. Ketika itu memang sedang marak-maraknya promosi aneka ragam miss,
ada Miss Kacamata Rayban, Miss Jengki, Miss Fiat, Miss Pantai, di samping
pemilihan ratu ayu daerah, ratu ayu Indonesia, yang langsung dikaitkan dengan
berbagai jenis keratuan internasional. Dan semuanya, tulis Daoed Joesoef, "menyatakan demi manfaat dan kegunaan (pariwisata) serta keharuman nama dan
martabat Indonesia."
Apa kata Daoed Joesoef tentang semua jenis ratu-ratuan
tersebut? "Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah
suatu penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari
makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup
keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang,
rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus
merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki
dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom aku tidak a
priori anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis,
namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah
menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk,
sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara," tulis Daoed Joesoef.
Menurut mantan dosen FE-UI ini, wanita yang terjebak ke
dalam kontes ratu-ratuan, tidak menyadari dirinya telah terlena, terbius, tidak
menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Itu ibarat perokok atau pemadat yang
melupakan begitu saja nikotin atau candu yang jelas merusak kesehatannya. Lebih
jauh, Daoed Joesoef menyampaikan kritik pedasnya: ”Pendek kata kalau di zaman
dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman
sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah
dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut ”meramaikan” pesta
kecantikan perempuan di forum internasional.”
Dari 900 halaman lebih memoarnya tersebut, Daoed Joesoef
memberikan porsi cukup panjang (hal. 649-657) untuk menguraikan buruknya
praktik-praktik ratu-ratuan bagi perempuan itu sendiri. Perempuan tentu boleh
tampil cantik. Tapi, Daoed Joesoef mengingatkan tiga hal.
Pertama, jangan ia diumbar, dibiarkan untuk dieksploitasi seenaknya oleh orang/pihak lain hingga membahayakan dirinya sendiri.
Kedua, jangan memupuknya secara berlebihan, karena bagaimana pun kecantikan itu hanya setebal kulit.
Ketiga, kecantikan yang dipupuk dan lalu dijadikan standar personalitas perempuan berpotensi menjadi liang kubur perempuan yang bersangkutan. Bila kecantikan itu redup, karena hanya setebal kulit, berarti perempuan itu tidak dapat lagi memenuhi standar yang telah dipatoknya sendiri. Orang lain, termasuk suaminya, akan membelakanginya, lalu berpaling ke perempuan cantik lain.
Pertama, jangan ia diumbar, dibiarkan untuk dieksploitasi seenaknya oleh orang/pihak lain hingga membahayakan dirinya sendiri.
Kedua, jangan memupuknya secara berlebihan, karena bagaimana pun kecantikan itu hanya setebal kulit.
Ketiga, kecantikan yang dipupuk dan lalu dijadikan standar personalitas perempuan berpotensi menjadi liang kubur perempuan yang bersangkutan. Bila kecantikan itu redup, karena hanya setebal kulit, berarti perempuan itu tidak dapat lagi memenuhi standar yang telah dipatoknya sendiri. Orang lain, termasuk suaminya, akan membelakanginya, lalu berpaling ke perempuan cantik lain.
Semasa belajar di Paris, Daoed Joesoef mengaku pernah
membaca sebuah kasus seorang guru matematika dipecat oleh Menteri Pendidikan
Nasional Perancis, gara-gara guru tersebut mengikuti kontes ratu kecantikan
daerah yang merupakan awal dari pemilihan ratu kecantikan nasional. Ketika itu
tidak ada media yang membelanya, karena publik menganggap kegiatan seperti itu
tidak pantas dilakukan seorang guru. Karena itu, menurutnya, jika ada pendidik
yang membela kegiatan pemilihan ratu ayu, pantas sekali dipertanyakan bagaimana
keadaan nuraninya.
”Apa kata inteleknya tidak perlu dipersoalkan, karena
sekarang ini keintelektualan bisa disewa per hari, per minggu, per bulan, per
tahun, bahkan permanen, dengan honor yang lumayan. Artinya, even seorang
intelek bisa saja melacurkan kemurnian inteleknya karena nurani sudah diredam
oleh uang,” tulis Daoed Joesoef.
Daoed Joesoef menolak argumentasi bahwa kontes kecantikan
juga menonjolkan sisi-sisi intelektual perempuan dan banyak pesertanya yang
mahasiswi. Juga ia menolak alasan bahwa penggunaan pakaian renang dalam kontes
semacam itu adalah hal yang biasa. ”Namun tampil berbaju renang melenggang di
catwalk, ini soal yang berbeda. Gadis itu bukan untuk mandi, tapi disiapkan,
didandani, dengan sengaja, supaya enak ditonton, bisa dinikmati penonjolan
bagian tubuh keperempuanannya, yang biasanya tidak diobral untuk setiap orang,”
tulis Daoed Joesoef lebih jauh.
Bahkan, Daoed Joesoef menyamakan peserta kontes kecantikan
itu sama dengan sapi perah: ”setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk
buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari
bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk
kepentingan dan keuntungan siapa?”
Terhadap orang yang menyatakan bahwa yang dinilai dalam
kontes kecantikan bukan hanya kecantikannya, tetapi juga otaknya, sikapnya, dan
keberaniannya, Daoed Joesoef menyatakan, bahwa semua itu hanya embel-embel guna
menutupi kriterium kecantikan yang tetap diunggulkan. ”Percayalah, tidak akan
ada gadis sumbing yang akan terpilih menjadi ratu betapa pun tinggi IQ-nya,
terpuji sikapnya atau keberaniannya yang mengagumkan,” tulisnya.
Terhadap alasan kegunaan kontes ratu kecantikan untuk
promosi wisata dan penarikan devisa, Daoed Joesoef menyebutnya sebagai wishful
thinking belaka, untuk menarik simpati masyarakat dan dukungan pemerintah.
Kalau keamanan terjamin, jaringan transpor bisa diandalkan, sistem komunikasi
lancar, bisa on time, pelayanan hotel prima, maka keindahan alam Indonesia saja
cukup bisa menarik wisatawan.
Lalu, apa jalan keluarnya? ”Stop all those nonsense!
Hentikan semua kegiatan pemilihan ratu kecantikan yang jelas mengeksploitasi
perempuan dan pasti merendahkan martabatnya!” seru Daoed Joesoef. “Namun,”
lanjutnya, “kalau perempuan sendiri bergairah melakukan perbuatan yang tercela
itu karena kepentingan materi sesaat tanpa mempedulikan masa depan anak-anak,
ya mau bilang apa lagi!”.
Meskipun kita tidak sependapat dengan banyak pemikiran
sekular Daoed Joesoef, tetapi pandangannya tentang ratu-ratuan ini patut kita
acungi jempol. Kini, di tengah-tengah semakin menguatnya hegemoni liberalisme
nilai-nilai moral dan menghunjamnya paham materialisme, pendapat jernih Daoed
Joesoef dalam soal peran dan kedudukan perempuan perlu diperhatikan, khususnya
bagi pejabat dan pemuka masyarakat. Secara terbuka Daoed Joesoef mengimbau:
“Kalaupun gadis-gadis kita yang cantik jelita lagi terpelajar,
cerdas dan terampil serta berbudi pekerti terpuji dan berani, masih berhasrat
menyalurkan energinya yang menggebu-gebu ke kegiatan-kegiatan yang bermanfaat
bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, siapkanlah diri mereka
agar menjadi IBU yang ideal, memenuhi perempuan yang sebenarnya dalam keluarga,
perannya yang paling alami. Jadi bukan peran sembarangan, karena mendidik
makhluk ciptaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan kepadanya. Jangan anggap
bahwa mengasuh, membesarkan dan mendidik anak secara benar bukan suatu
pekerjaan yang terhormat. Pekerjaan ini memang tidak menghasilkan uang, pasti
tidak membuahkan popularitas, tentu tidak akan ditampilkan oleh media massa
dengan penuh kemegahan, tetapi ia pasti mengandung suatu misi yang suci…”
Demikianlah, sebuah contoh pemikiran yang jernih tentang
kedudukan dan martabat perempuan. Mudah-mudahan masih ada petinggi negara dan
elite masyarakat yang mendukung pemikiran semacam ini, dan kemudian berani
melakukan tindakan untuk menegakkan kebenaran, meskipun resikonya, dia bisa
jadi tidak akan populer.
(Adian Husaini, diubah sedikit tanpa mengubah maknanya)