Medan Dakwah di Jantung Sumatra
Berapa lama sih waktu yang kita perlukan
untuk mencapai tempat kajian atau halqah? Jawaban setiap orang tentu
berbeda-beda. Bagi sebagian besar aktivis dakwah kampus mungkin hanya perlu beberapa
menit jalan kaki atau naik angkutan umum. Hal ini karena kebanyakan dari mereka
tinggal di kosan dekat kampus bersama teman-teman seperjuangan. Kadang malah
untuk ngaji hanya perlu ngesot ke kamar sebelah karena sang murabbi adalah
tetangga kamar kosannya. Namun di daerah lain ada orang yang harus menempuh
perjalanan seharian untuk halqah yang hanya dua jam.
Inilah yang dialami oleh seorang pengemban
dakwah yang pernah menjadi musyrifah saya ketika SMA dulu. Setelah menikah dan
punya satu anak dia dan suaminya pindah ke Desa Pendalian IV Koto, provinsi
Riau. Desa tersebut berada di jantung pulau Sumatra, di kelilingi perkebunan
sawit yang sangat luas dan tidak ada kendaraan umum yang mengangkut penduduk
setempat untuk keluar dari desa tersebut.
Bagi penduduk desa yang tidak banyak
kebutuhan untuk pergi ke kota mungkin hal ini tidak masalah namun bagi seorang
aktivis dakwah yang punya kewajiban untuk halqah secara rutin tentu menjadi
tantangan luar biasa.
Untuk halqah musyrifah saya dan suaminya
harus ke ibu kota provinsi di Pekan Baru. Untuk mencapai Pekan Baru pertama-tama
keluarga kecil ini harus menumpang truk-truk sawit yang keluar dari desa menuju
kota kecil bernama Ujung Batu.
Perjalanannya sekitar dua jam dengan jalanan yang tidak rata dan terbuat dari
tanah. Setelah sampai di Ujung Batu mereka harus naik angkutan umum sekitar
empat sampai lima jam. Sampai di Pekan Baru biasanya sudah sore bahkan malam,
lalu mereka mencari motel untuk menginap, mengistirahatkan badan dari capeknya
perjalanan agar segar untuk halqah besok paginya.
Untuk pulang, kondisinya lebih parah lagi.
Karena ketika sampai Ujung Batu mereka harus menunggu truk atau kendaraan
perkebunan lain untuk menumpang menuju desa dan lewatnya kendaraan-kendaraan
tersebut sulit di prediksi. Suatu kali pernah mereka harus sampai rumah lewat
tengah malam karena harus menunggu kendaraan perkebunan selama berjam-jam di
Ujung Batu.
Keadaan makin menantang ketika sang istri
hamil tak lama setelah tinggal di desa tersebut. Setelah punya anak dua pilihan
mereka pun makin sulit, antara menitipkan anak ketika pergi atau membawa mereka
ikut serta. Berhubung kondsi anak-anaknya yang tidak mau jauh dari orang tuanya
dan sang ibu tidak mau anaknya kuper dan kurang wawasan maka keluarga kecil ini
pun berepot-repot ria membawa anaknya ke ibu kota. Di dalam truk menuju Ujung
Batu sang suami duduk di sebelah supir memangku anak yang besar dan sang istri
memangku si kecil. Inilah yang mereka jalani dengan sabar selama tiga setengah
tahun. Pada pertengahan 2011 suaminya dipindah tugaskan oleh perusahaan ke
Jakarta. Benarlah janji Allah, bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Keputusan sang ibu membawa anaknya dalam
perjalanan dakwahnya ternyata berbuah manis. Cerita diatas saya dapat bukan
hanya dari sang ibu ketika saya berkunjung ke rumah kecil mereka di Jakarta,
namun juga dari anak-anakya.
“Kita pernah loh kak, truk kita masuk
lumpur!” kata sang kakak dengan ekspesif dan logat Melayu yang kental.
“Oh ya?” tanya saya memancing.
“Iya… terus kan… truk kita ditarik Jonder
gedeeeek kali”
“Jonder?”
“Iya jonder… jonder… masak kakak gak tau
jonder?” si kakak menatap saya dengan sangat heran. Dalam hati saya bilang,
yaampun dek, kakak mana pernah tinggal di perkebunan dan kenalan sama yang
namanya jonder.
Saya pun menatap ibunya dengan bingung.
Lalu ibunya menjelaskan bahwa itu sejenis kendaraan super besar yang bisa
mengangkat truk. Ibunya juga menambahkan waktu itu memang habis hujan lebat,
jalanan yang masih tanah berubah jadi lumpur. Truk yang mereka tumpangi terperosok
selama berjam-jam sampai akhirnya diselamatkan oleh jonder.
Luar biasa pengalaman mereka, padahal itu baru
perjalanan untuk mengkaji Islam. Belum termasuk tantangan mereka menghadapi
kebiasaan masyarakat desa tersebut. Seperti kebiasaan mandi di sungai sehingga
aurat terlihat kemana-mana, pemuda desa yang bergaya bak jagoan kampung, jika
sakit berobat ke dukun, percaya takhayul sampai-sampai ketika musyrifah saya
dan anggota keluarganya sakit rumah mereka dituduh tempat lewat makhluk halus
karena dirumah mereka tidak ada jimat pelindung. Pemahaman Islam disana memang
sangat minim bahkan zina sebelum nikah tenyata dilakukan juga oleh pamuda
pemudinya. Kondisi ini dicoba diperbaiki dengan mengadakan wiridan dan diteruskan
dengan kajian umum untuk ibu-ibu. Membahas topik
keseharian sampai khilafah. Untuk anak-anak juga disediakan tempat belajar
membaca iqra.
Diawal tinggal disana keluarga ini sering
digunjingkan karena mereka berbeda. Namun beberapa bulan setelah kepindahan
mereka ke Jakarta sang istri ditelpon oleh seorang ibu mantan tetangganya. Ibu
tersebut cerita bahwa betapa dia dan tetangganya yang lain merindukan
kajian-kajian seperti dulu. Mereka sangat ingin musyrifah saya balik lagi
kesana.
Ah, subhanallah. Malulah diri ini dengan
segala kemudahan yang Allah berikan namun masih tidak optimal dalam dakwah.
***