Monday, May 13, 2013



Berapa lama sih waktu yang kita perlukan untuk mencapai tempat kajian atau halqah? Jawaban setiap orang tentu berbeda-beda. Bagi sebagian besar aktivis dakwah kampus mungkin hanya perlu beberapa menit jalan kaki atau naik angkutan umum. Hal ini karena kebanyakan dari mereka tinggal di kosan dekat kampus bersama teman-teman seperjuangan. Kadang malah untuk ngaji hanya perlu ngesot ke kamar sebelah karena sang murabbi adalah tetangga kamar kosannya. Namun di daerah lain ada orang yang harus menempuh perjalanan seharian untuk halqah yang hanya dua jam.

Inilah yang dialami oleh seorang pengemban dakwah yang pernah menjadi musyrifah saya ketika SMA dulu. Setelah menikah dan punya satu anak dia dan suaminya pindah ke Desa Pendalian IV Koto, provinsi Riau. Desa tersebut berada di jantung pulau Sumatra, di kelilingi perkebunan sawit yang sangat luas dan tidak ada kendaraan umum yang mengangkut penduduk setempat untuk keluar dari desa tersebut.
Bagi penduduk desa yang tidak banyak kebutuhan untuk pergi ke kota mungkin hal ini tidak masalah namun bagi seorang aktivis dakwah yang punya kewajiban untuk halqah secara rutin tentu menjadi tantangan luar biasa.
Untuk halqah musyrifah saya dan suaminya harus ke ibu kota provinsi di Pekan Baru. Untuk mencapai Pekan Baru pertama-tama keluarga kecil ini harus menumpang truk-truk sawit yang keluar dari desa menuju kota kecil bernama  Ujung Batu. Perjalanannya sekitar dua jam dengan jalanan yang tidak rata dan terbuat dari tanah. Setelah sampai di Ujung Batu mereka harus naik angkutan umum sekitar empat sampai lima jam. Sampai di Pekan Baru biasanya sudah sore bahkan malam, lalu mereka mencari motel untuk menginap, mengistirahatkan badan dari capeknya perjalanan agar segar untuk halqah besok paginya.
Untuk pulang, kondisinya lebih parah lagi. Karena ketika sampai Ujung Batu mereka harus menunggu truk atau kendaraan perkebunan lain untuk menumpang menuju desa dan lewatnya kendaraan-kendaraan tersebut sulit di prediksi. Suatu kali pernah mereka harus sampai rumah lewat tengah malam karena harus menunggu kendaraan perkebunan selama berjam-jam di Ujung Batu.
Keadaan makin menantang ketika sang istri hamil tak lama setelah tinggal di desa tersebut. Setelah punya anak dua pilihan mereka pun makin sulit, antara menitipkan anak ketika pergi atau membawa mereka ikut serta. Berhubung kondsi anak-anaknya yang tidak mau jauh dari orang tuanya dan sang ibu tidak mau anaknya kuper dan kurang wawasan maka keluarga kecil ini pun berepot-repot ria membawa anaknya ke ibu kota. Di dalam truk menuju Ujung Batu sang suami duduk di sebelah supir memangku anak yang besar dan sang istri memangku si kecil. Inilah yang mereka jalani dengan sabar selama tiga setengah tahun. Pada pertengahan 2011 suaminya dipindah tugaskan oleh perusahaan ke Jakarta. Benarlah janji Allah, bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Keputusan sang ibu membawa anaknya dalam perjalanan dakwahnya ternyata berbuah manis. Cerita diatas saya dapat bukan hanya dari sang ibu ketika saya berkunjung ke rumah kecil mereka di Jakarta, namun juga dari anak-anakya.
“Kita pernah loh kak, truk kita masuk lumpur!” kata sang kakak dengan ekspesif dan logat Melayu yang kental.
“Oh ya?” tanya saya memancing.
“Iya… terus kan… truk kita ditarik Jonder gedeeeek kali”
“Jonder?”
“Iya jonder… jonder… masak kakak gak tau jonder?” si kakak menatap saya dengan sangat heran. Dalam hati saya bilang, yaampun dek, kakak mana pernah tinggal di perkebunan dan kenalan sama yang namanya jonder.
Saya pun menatap ibunya dengan bingung. Lalu ibunya menjelaskan bahwa itu sejenis kendaraan super besar yang bisa mengangkat truk. Ibunya juga menambahkan waktu itu memang habis hujan lebat, jalanan yang masih tanah berubah jadi lumpur. Truk yang mereka tumpangi terperosok selama berjam-jam sampai akhirnya diselamatkan oleh jonder.
Luar biasa pengalaman mereka, padahal itu baru perjalanan untuk mengkaji Islam. Belum termasuk tantangan mereka menghadapi kebiasaan masyarakat desa tersebut. Seperti kebiasaan mandi di sungai sehingga aurat terlihat kemana-mana, pemuda desa yang bergaya bak jagoan kampung, jika sakit berobat ke dukun, percaya takhayul sampai-sampai ketika musyrifah saya dan anggota keluarganya sakit rumah mereka dituduh tempat lewat makhluk halus karena dirumah mereka tidak ada jimat pelindung. Pemahaman Islam disana memang sangat minim bahkan zina sebelum nikah tenyata dilakukan juga oleh pamuda pemudinya. Kondisi ini dicoba diperbaiki dengan mengadakan wiridan dan diteruskan dengan kajian umum untuk ibu-ibu. Membahas topik keseharian sampai khilafah. Untuk anak-anak juga disediakan tempat belajar membaca iqra.
Diawal tinggal disana keluarga ini sering digunjingkan karena mereka berbeda. Namun beberapa bulan setelah kepindahan mereka ke Jakarta sang istri ditelpon oleh seorang ibu mantan tetangganya. Ibu tersebut cerita bahwa betapa dia dan tetangganya yang lain merindukan kajian-kajian seperti dulu. Mereka sangat ingin musyrifah saya balik lagi kesana.
Ah, subhanallah. Malulah diri ini dengan segala kemudahan yang Allah berikan namun masih tidak optimal dalam dakwah.
***

Cerita-cerita Frida Designed by Frida Nurulia