Wednesday, August 28, 2013

Golput dan tingkat partisipasi. Beberapa tahun belakangan kedua istilah ini sering dianggap bisa dipertukarkan padahal hal itu kurang tepat, karena golput dan tingkat partisipasi rendah adalah hal yang berbeda.

Golput punya sejarah tersendiri dan khas Indonesia, istilah ini tidak ada di negara lain sementara tingkat partisipasi adalah istilah yang umum di setiap negara yang melaksanakan pemilu. Golput berawal pada zaman Orde Baru Soeharto, pada saat itu hanya ada tiga partai dalam pemilu yaitu Golkar (berwarna kuning, berhaluan politik kapitalis), PDIP (merah, berhaluan nasionalis-sosialis) dan PPP (hijau, berahaluan Islam abangan).

Pada zaman represif tersebut rakyat yang tidak setuju pada partai penguasa dan kedua partai lainnya tidak bisa dengan mudah membuat partai baru yang sesuai dengan aspirasi politik dan ideologinya. Pada zaman itu kritik terhadap pemerintah juga sulit dilakukan, media yang berani mengkritik langsung dibredel. Satu-satunya bentuk perlawanan pada saat itu adalah dengan tidak memilih dalam pemilu. Landasan mereka ideologis dan mereka menentang idologinya penguasa. Bisa dibilang tindakan golput itu subversif terhadap negara.

Sementara itu, pada masa reformasi angka partisipasi terhadap pemilu terus menurun. Namun mereka yang tidak memilih ini belum tentu golput. Banyak pemilih, terutama pemilih muda, tidak memilih karena tidak mengerti dan males, bukan karena tidak setuju dengan ideologi negara.

Research Director Charta Politika, Yunarto Wijaya, menjelaskan bahwa alasan tidak memilih itu ada tiga. Pertama karena masalah administratif, yaitu tidak memilih karena daftar administratif kependudukan yang tidak jelas, misalnya tidak terdaftar sebagai calon pemilih.

Kedua, masalah teknis. Ini adalah orang-orang yang tidak memilih karena pada hari pemilihan mereka berhalangan. Yunarto menjelaskan bahwa banyak pemilih yang lebih memilih melakukan kegiatan lain, seperti berlibur, daripada mengunjungi tempat pemungutan suara (TPS).

Ketiga, golput ideologis. Tidak memilih karena alasan ideologi.

Untuk pemilih muda, rendahnya tingkat partisipasi diduga lebih karena hal teknis daripada ideologis. Mereka cuek.

Bagaimana dengan kondisi pemilu di negara lain? Di negara maju yang memakai demokrasi justru tingkat partisipasinya cenderung rendah. Misalnya AS, Jepang dan negara-negara Eropa. Hal itu bukan berarti mereka (yang tidak memilih) tidak setuju pada ideologi negaranya, namun justru karena sudah percaya bahwa siapapun yang memimpin negara akan tetap berjalan dengan baik ('baik' versi mereka). Sehingga, ketika presiden melakukan sesuatu yang membuat mayoritas rakyat muak, misalnya Bush dengan kebijakan-kebijakannya, tingkat partisipasi pemilih kembali tinggi untuk menumbangkan orang-orang Republikan (partainya Bush). Singkatnya, rakyat masih percaya pada sistem demokrasi yang mereka miliki.

Menganalisis tingkat partisipasi yang rendah memang harus sangat hati-hati. Hal ini bisa jadi lebih sulit daripada menganalisis kekuatan partai sekuler atau Islam yang ikut pemilu. Kita tidak bisa memukul rata semua orang yang tidak berpartisipasi dalam pemilu adalah penentang demokrasi.

Bagi aktivis Ideologi Islam yang tidak berpartisipasi dalam pemilu, rendahnya angka partisipasi pemilu bukan ukuran berhasilnya dakwah Islam. Karena manyoritas mereka tidak memilih karena tidak mengerti dan enggan terlibat. Jadi, aktivis dakwah pun harus ikut khawatir atas rendahnya partisipasi politik masyarakat sekarang.

Sekarang banyak pihak yang ingin meningkatkan partisipasi politik masyarakat dan mereka memiliki dana yang luar biasa besar. Tentunya ke arah mana partisipasi tersebut akan tersalurkan tergantung (ideologi) penyelenggara. Sehingga, bahaya sekali jika aktivis Islam idologis puas diri dengan angka pemilih yang rendah dan lalai terhadap edukasi politik Islam pada masyarakat. Semoga tidak begitu ya...

Selain itu, kita mesti lebih hati-hati menggunakan istilah golput setelah tahu arti sebenarnya dari ungkapan ini. Tidak semua yang tidak memilih itu golput. Kebanyakan orang memang tidak tau sejarah istilah ini, saya pun baru tau kemarin sore.

Kemarin (Selasa, 27 Agustus) saya berkesempatan ngobrol dengan aktivis senior KIPP (Komisi Independen Pemantau Pemilu) di sebuah kafe di daerah Cikini. Dari beliau saya banyak dapet wawasan politik (termasuk tentang golput) juga hal-hal baru tentang kondisi politik di berbagai negara[1]. Obrolan yang sangat menarik juga penting, yang membuat saya makin tergambar betapa hebatnya perang pemikiran yang sedang terjadi di berbagai negara, khususnya dunia Islam.

PS: Mungkin ada yang bertanya-tanya pada masa Orba tentunya ada juga orang-orang yang tidak mengerti (bahkan mungkin banyak), lalu suara mereka kemana? Saya pikir Golkar pada zaman itu cukup pintar memanfaatkan suara-suara orang-orang yang tidak mengerti. Hegemoni mereka jalan dengan baik.




[1] Beliau pernah memantau pemilu di Afghanistan, Thailand, Filipina, Pakistan, Malaysia dan Indonesia

Cerita-cerita Frida Designed by Frida Nurulia