Golongan Putih dan Tingkat Partisipasi
Oleh: Frida
Nurulia
Dimuat di Tangsel Pos pada 24 September 2013
Golongan Putih. Semenjak reformasi istilah ini sering digunakan
untuk melabeli warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya. Padahal hal
tersebut kurang tepat karena ‘golput’ dan ‘tidak berpartisipasi’ adalah dua hal
yang berbeda.
Golput adalah istilah yang khas Indonesia, karena istilah
ini hanya ada di Indonesia. Di Amerika Serikat, misalnya, warga negara yang
tidak berpartisipasi dalam pemilu disebut non-voters bukan white
group.
Golput lahir di Indonesia sebagai konsekuensi dari sebuah
kejadian sejarah, lahirnya orde baru. Golput
lahir pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebelum pemilu pertama
pada rezim orde baru dilaksanakan pada 5 Juli 1971. Gerakan ini dimotori oleh Arief
Budiman, Julius Usman, Imam Walujo, Husin Umar, dan Asmara Nababan sebagai
gerakan moral. Yaitu, untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan
pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun.
Istilah ‘golput’ sendiri dicetuskan oleh Imam Walujo.
Istilah ini dipakai karena menganjurkan para simpatisannya untuk mencoblos
bagian putih dari kertas suara. Gerakan ini juga didorong dari ketidakpuasan atas pemilu
yang diadakan tahun 1971 yang hanya diikuti oleh sembilan partai politik dan satu
organisasi masyarakat. Jumlah ini jauh berkurang dibandingkan dengan pemilu
sebelumnya pada tahun 1955 yaitu 29 partai politik dan individu. Partai politik
yang menjadi peserta pemilu pada saat itu dianggap tidak mewakili semua
kalangan dan hanya mewakili suara penguasa. Apalagi sudah menjadi rahasia umum
dikalangan aktivis pada saat itu bahwa kekuatan yang lebih banyak mengarahkan
negara bukanlah legislatif namun ABRI.
Pada zaman itu kritik terhadap pemerintah juga sulit
dilakukan, karena sikap pemerintah yang sangat represif terhadap pihak oposisi
yang melakukan kritik. Satu-satunya bentuk perlawanan pada saat itu adalah
dengan tidak memilih dalam pemilu. Ini adalah bentuk perlawanan dalam diam.
Orang-orang yang terlibat dalam gerakan adalah orang yang
memiliki idealisme dan menentang idologinya penguasa yang berani. Bisa dibilang
tindakan golput itu adalah tindakan yang subversif terhadap negara. Maka, tidak
heran jika Mentri Luar Negri Adam malik menyebut golput sebagai golongan setan.
Gerakan ini mendapat penentangan dari pemerintah.
Pangkopkamtibda Djakarta menyatakan golput sebagai organisasi terlarang dan
pamflet tanda gambar golput mesti dibersihkan. Pamlet golput tersebut adalah
pamflet yang menyatakan tidak akan turut dalam pemilu, tanda gambarnya segi
lima dengan dasar warna putih,.
Sejumlah diskusi yang digelar anasir golput juga dilarang.
Komando Keamanan Langsung (Kokamsung) Komda Metro Jaya sempat pula memanggil
para eksponen golput. Larangan serupa juga dilakukan di Jawa Tengah. Penentangan
dari pemerintah ini membuat hanya segelintir orang yang berani untuk golput.
Golput Pasca Reformasi
Sementara itu, pada masa reformasi angka partisipasi
terhadap pemilu terus menurun. Namun mereka yang tidak memilih ini belum tentu
mereka golput. Banyak pemilih, terutama pemilih muda, tidak memilih karena
tidak mengerti dan malas bukan karena tidak setuju dengan ideologi negara.
Research Director Charta Politika, Yunarto Wijaya,
menjelaskan bahwa alasan tidak memilih itu ada tiga. Pertama karena masalah administratif,
yaitu tidak memilih karena daftar administratif kependudukan yang tidak jelas,
misalnya tidak terdaftar sebagai calon pemilih.
Kedua, masalah teknis. Ini adalah orang-orang yang tidak
memilih karena pada hari pemilihan mereka berhalangan. Yunarto menjelaskan
bahwa banyak pemilih yang lebih memilih melakukan kegiatan lain, seperti
berlibur, daripada mengunjungi tempat pemungutan suara (TPS).
Ketiga, golput ideologis. Tidak memilih karena alasan
ideologi.
Untuk pemilih muda, rendahnya tingkat partisipasi diduga
lebih karena hal teknis daripada ideologis. Namun, jika dilihat secara umum
dari semua kelompok umur, jumlah warga negara tidak berpartisipasi karena tidak
percaya pada mekanisme demokrasi juga meningkat.
Di negara maju yang memakai demokrasi tingkat partisipasi
kecenderungannya rendah. Misalnya AS, Jepang dan negara-negara eropa. Hal itu
bukan berarti mereka (yang tidak memilih) tidak setuju pada ideologi negaranya,
namun justru karena sudah percaya bahwa siapapun yang memimpin negara akan
tetap berjalan dengan baik. Sehingga, ketika presiden melakukan sesuatu yang
membuat mayoritas rakyat muak, misalnya Bush dengan kebijakan perangnya,
tingkat partisipasi pemilih kembali tinggi untuk menumbangkan orang-orang
Republikan (partainya Bush). Singkatnya, rakyat masih percaya pada sistem
demokrasi yang mereka miliki.
Kesimpulannya, rendahnya tingkat partisipasi bisa disebabkan
banyak hal. Tidak semua orang yang tidak memilih bisa disebut ‘golput’ yang
merujuk pada kelompok orang yang tidak memilih karena idealisme. Walaupun demikian, dengan rendahnya angka partisipasi ini
seharusnya partai politik, politisi dan pemerintah berkaca dan intropeksi.
Sudahkah selama ini edukasi politik dilakukan dengan baik oleh pemerintah dan
partai politik sehingga tingkat masyarakat yang apatis berkurang. Sudahkah
partai politik pemenang pemilu melaksanakan tugasnya dengan adil dan amanah
sehingga rakyat percaya bahwa pemilu bisa menghasilkan pemimpin yang baik?
Faktanya, sampai sekarang kedua hal tersebut tidak dilakukan
dengan baik. Oleh karena itu, jika 2014 tingkat partisipasi semakin rendah,
jangan ge-er bahwa itu dikarenakan rakyat percaya pada pemerintah
seperti yang terjadi di negara maju. Tidak perlu mencela orang-orang yang tidak
memilih di berbagai media seperti yang dilakukan orde baru dulu. Karena, jika dua
hal yang disebutkan sebelumnya sudah berjalan rakyat akan sukarela memilih
pemimpin yang ia percaya.
3 comments
golput juga pilihan politik ya mak...duluuu saya pernah golpun lantaran pemerintah memaksakan pilihan terbatas dengan 3 partai...sekarang sih enggak, kan banyak pilihan dan ada yang lebih sesuai dengan kata hati. makasih pandangannya mak
REPLYIya mak, intinya mau golput atau milih harus ada alasan yang bisa dipertanggung-jawabkan.
REPLYBukan karena ikut-ikutan doang. :)
Wah, kebalikan ya makin rendah partisipan pemilih di negara maju mereka mempercayakan itu semua ke pemimpin yang terpilih. Justru ketika partisipan pemilihnya makin tinggi pemerintah harus lebih waspada, ckckckck...
REPLY