Sunday, October 13, 2013

Oleh: Frida Nurulia

Dimuat di Tangsel Pos pada 24 September 2013

Golongan Putih. Semenjak reformasi istilah ini sering digunakan untuk melabeli warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya. Padahal hal tersebut kurang tepat karena ‘golput’ dan ‘tidak berpartisipasi’ adalah dua hal yang berbeda.

Golput adalah istilah yang khas Indonesia, karena istilah ini hanya ada di Indonesia. Di Amerika Serikat, misalnya, warga negara yang tidak berpartisipasi dalam pemilu disebut non-voters bukan white group.



Sejarah Golput

Golput lahir di Indonesia sebagai konsekuensi dari sebuah kejadian sejarah, lahirnya orde baru. Golput  lahir pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebelum pemilu pertama pada rezim orde baru dilaksanakan pada 5 Juli 1971. Gerakan ini dimotori oleh Arief Budiman, Julius Usman, Imam Walujo, Husin Umar, dan Asmara Nababan sebagai gerakan moral. Yaitu, untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun.

Istilah ‘golput’ sendiri dicetuskan oleh Imam Walujo. Istilah ini dipakai karena menganjurkan para simpatisannya untuk mencoblos bagian putih dari kertas suara. Gerakan ini juga didorong dari ketidakpuasan atas pemilu yang diadakan tahun 1971 yang hanya diikuti oleh sembilan partai politik dan satu organisasi masyarakat. Jumlah ini jauh berkurang dibandingkan dengan pemilu sebelumnya pada tahun 1955 yaitu 29 partai politik dan individu. Partai politik yang menjadi peserta pemilu pada saat itu dianggap tidak mewakili semua kalangan dan hanya mewakili suara penguasa. Apalagi sudah menjadi rahasia umum dikalangan aktivis pada saat itu bahwa kekuatan yang lebih banyak mengarahkan negara bukanlah legislatif namun ABRI.

Pada zaman itu kritik terhadap pemerintah juga sulit dilakukan, karena sikap pemerintah yang sangat represif terhadap pihak oposisi yang melakukan kritik. Satu-satunya bentuk perlawanan pada saat itu adalah dengan tidak memilih dalam pemilu. Ini adalah bentuk perlawanan dalam diam.

Orang-orang yang terlibat dalam gerakan adalah orang yang memiliki idealisme dan menentang idologinya penguasa yang berani. Bisa dibilang tindakan golput itu adalah tindakan yang subversif terhadap negara. Maka, tidak heran jika Mentri Luar Negri Adam malik menyebut golput sebagai golongan setan.

Gerakan ini mendapat penentangan dari pemerintah. Pangkopkamtibda Djakarta menyatakan golput sebagai organisasi terlarang dan pamflet tanda gambar golput mesti dibersihkan. Pamlet golput tersebut adalah pamflet yang menyatakan tidak akan turut dalam pemilu, tanda gambarnya segi lima dengan dasar warna putih,.

Sejumlah diskusi yang digelar anasir golput juga dilarang. Komando Keamanan Langsung (Kokamsung) Komda Metro Jaya sempat pula memanggil para eksponen golput. Larangan serupa juga dilakukan di Jawa Tengah. Penentangan dari pemerintah ini membuat hanya segelintir orang yang berani untuk golput.

Golput Pasca Reformasi

Sementara itu, pada masa reformasi angka partisipasi terhadap pemilu terus menurun. Namun mereka yang tidak memilih ini belum tentu mereka golput. Banyak pemilih, terutama pemilih muda, tidak memilih karena tidak mengerti dan malas bukan karena tidak setuju dengan ideologi negara.

Research Director Charta Politika, Yunarto Wijaya, menjelaskan bahwa alasan tidak memilih itu ada tiga. Pertama karena masalah administratif, yaitu tidak memilih karena daftar administratif kependudukan yang tidak jelas, misalnya tidak terdaftar sebagai calon pemilih.

Kedua, masalah teknis. Ini adalah orang-orang yang tidak memilih karena pada hari pemilihan mereka berhalangan. Yunarto menjelaskan bahwa banyak pemilih yang lebih memilih melakukan kegiatan lain, seperti berlibur, daripada mengunjungi tempat pemungutan suara (TPS).

Ketiga, golput ideologis. Tidak memilih karena alasan ideologi.

Untuk pemilih muda, rendahnya tingkat partisipasi diduga lebih karena hal teknis daripada ideologis. Namun, jika dilihat secara umum dari semua kelompok umur, jumlah warga negara tidak berpartisipasi karena tidak percaya pada mekanisme demokrasi juga meningkat.

Di negara maju yang memakai demokrasi tingkat partisipasi kecenderungannya rendah. Misalnya AS, Jepang dan negara-negara eropa. Hal itu bukan berarti mereka (yang tidak memilih) tidak setuju pada ideologi negaranya, namun justru karena sudah percaya bahwa siapapun yang memimpin negara akan tetap berjalan dengan baik. Sehingga, ketika presiden melakukan sesuatu yang membuat mayoritas rakyat muak, misalnya Bush dengan kebijakan perangnya, tingkat partisipasi pemilih kembali tinggi untuk menumbangkan orang-orang Republikan (partainya Bush). Singkatnya, rakyat masih percaya pada sistem demokrasi yang mereka miliki.

Kesimpulannya, rendahnya tingkat partisipasi bisa disebabkan banyak hal. Tidak semua orang yang tidak memilih bisa disebut ‘golput’ yang merujuk pada kelompok orang yang tidak memilih karena idealisme. Walaupun demikian, dengan rendahnya angka partisipasi ini seharusnya partai politik, politisi dan pemerintah berkaca dan intropeksi. Sudahkah selama ini edukasi politik dilakukan dengan baik oleh pemerintah dan partai politik sehingga tingkat masyarakat yang apatis berkurang. Sudahkah partai politik pemenang pemilu melaksanakan tugasnya dengan adil dan amanah sehingga rakyat percaya bahwa pemilu bisa menghasilkan pemimpin yang baik?

Faktanya, sampai sekarang kedua hal tersebut tidak dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, jika 2014 tingkat partisipasi semakin rendah, jangan ge-er bahwa itu dikarenakan rakyat percaya pada pemerintah seperti yang terjadi di negara maju. Tidak perlu mencela orang-orang yang tidak memilih di berbagai media seperti yang dilakukan orde baru dulu. Karena, jika dua hal yang disebutkan sebelumnya sudah berjalan rakyat akan sukarela memilih pemimpin yang ia percaya.


3 comments

golput juga pilihan politik ya mak...duluuu saya pernah golpun lantaran pemerintah memaksakan pilihan terbatas dengan 3 partai...sekarang sih enggak, kan banyak pilihan dan ada yang lebih sesuai dengan kata hati. makasih pandangannya mak

REPLY

Iya mak, intinya mau golput atau milih harus ada alasan yang bisa dipertanggung-jawabkan.
Bukan karena ikut-ikutan doang. :)

REPLY

Wah, kebalikan ya makin rendah partisipan pemilih di negara maju mereka mempercayakan itu semua ke pemimpin yang terpilih. Justru ketika partisipan pemilihnya makin tinggi pemerintah harus lebih waspada, ckckckck...

REPLY

Cerita-cerita Frida Designed by Frida Nurulia