Prolog Kisah Ustadzah Nurul Hikmah
Salah satu acara Ramadan yang populer di televisi adalah Hafiz
Indonesia yang ditayangkan di RCTI. Tahun ini Hafiz Indonesia memasuki
musim keduanya, dengan anak-anak yang tidak kalah luar biasa dari tahun lalu.
Tapi, kali ini saya bukan ingin cerita tentang program ini, atau profil
anak-anak yang jadi pesertanya, melainkan ingin bercerita tenang sosok yang
menjadi pembina karantina peserta Hafiz Indonesia.
Pembina Hafiz Indonesia adalah pasangan suami istri yang
teguh dalam mendakwahkan al-Qur’an. Bagaimana mereka bertemu? Dan bagaimana
sepak terjang sang istri, perempuan yang wajahnya tidak pernah sekalipun muncul
di program ini, jauh dari sorotan kamera dalam mendidik para hafiz dan hafizah
sejak belasan tahun yang lalu.
Pernikahan
Dia adalah Nurul Hikmah, perempuan asli Bengkulu yang aktif
menjadi aktivis sejak masih duduk di bangku kuliah. Bukan hanya aktif, dia juga
berprestasi.Tahun 2000 dia lulus dengan predikat cumlaude dan bermimpi
untuk sekolah setinggi-tingginya sampai S3. Menikah? Nanti saja setelah jadi
doktor. Begitu pikirnya.
Tapi tak diyana tak disangka, seorang laki-laki yang
memiliki nama mirip dengannya melamarnya. Belau adalah ustadz Nurul
Habiburrahman.
“Saya itu dulu aktivis dan lagi puncak-puncaknya jadi
aktivis. Saya gak mau nikah dulu lah, pengen lulus S3 dulu baru menikah.
Apalagi saya lulus dengan cumlaude. Baqo-nya[1] lagi gede banget saat itu.” Ucap bu Nurul
mengenang.
Lalu, seorang teman dekatnya menasehati “ibarat bunga mawar,
kakak tuh banyak durinya. Tapi keindahannya wanginya belum ada yang mengakui. Untuk
apa?”
Tuk, satu ketukan mengetuk hatinya.
“Kalau mau menikah dengan saya, saya ingin Islam di atas
segalanya. Saya tidak ingin istri saya menangis karena hal-hal duniawi selama
berumah tangga” ucap calon suaminya pada suatu hari.
Tuk, ketukan kedua mengetuk hatinya.
Orang yang melamar saya orang shalih, sepak terjangnya dalam
dakwah Islam pun sudah terlihat sejak masih di kampus. Tidak ada jawaban lain
kecuali menerima lamaran ini. Mereka menikah dan pindah ke Jakarta.
Di Jakarta, bu Nurul muda masih ingin banyak beraktivitas di
luar rumah. Tapi ada satu halangannya, dia tidak berani menyebrang jalan.
Mungkin bagi kita lucu, tapi ternyata itulah cara Allah untuk menahan
aktivitasnya ke luar terus menerus dan berkhidmat untuk keluarganya.
Ketika hamil, bu Nurul meminta izin pada suaminya untuk
sekolah lagi. Lalu suaminya menjawab “Kamu boleh S2, tapi dengan syarat,
seluruh ilmumu itu jangan engkau ajarkan dulu pada orang lain sebelum ke
anakmu.”
“Oke gak papa. Saya siap” Bu Nurul setuju dan memegang
ucapan itu.
Tahun 2001 bu Nurul mengambil program Master Pendidikan
Islam di UIN Syarif dan anak pertama mereka lahir, Ibadurrahman (Ibad).
Ibad lahir dalam suasana belajar ibunya, tumbuh di antara
buku-buku bacaan sang Ibu. Sesuai dengan kesepakatan, sang ibu membagikan ilmu
pada anaknya sejak dini. Dia merawat Ibad dengan penuh perencanaan, layaknya
mendidik seorang santri.
Setiap menyusui dibacakannya Qur’an. Setiap berada di dekat
Ibad, Bu Nurul selalu membacakan Qur’an. Sampai suatu hari ketika Ibad hendak
disapih, ibad dengan pengucapan yang tidak jelas dan cadel melantunkan berbagai
surat pendek di juz 30.
Ustadz Habiburrahman, Ibadurrahman dan Maliha (salah satu murid MI Bait Qur'any) |
Di panggung Hafiz Indonesia bersama kak Irfan |
***
Penasaran dengan kelanjutannya? Baca kisahnya di “NurulHikmah, ibu dari ratusan hafiz”
[1]
Gharizah Baqo secara bahasa diartikan naluri (gharizah) untuk mempertahankan
diri (baqo). Maksud bu Nurul di sini adalah ambisi.
1 comments:
wah ibad sangat luar biasaa
REPLY