Sebelum menikah saya pernah membaca tentang seorang suami
yang mengalami morning sickness ketika istrinya hamil, lucunya sang istri
sendiri malah gak merasa mual-mual sama sekali. Bagi saya cerita itu lucu dan
aneh, makanya saya inget. Tapi gak pernah terpikirkan bahwa hal yang mirip akan
terjadi pada suami saya.
Kehamilan Empatik
Yes, laki-laki juga bisa hamil lho. Tapi bukan hamil
beneran, hanya kehamilan empatik. Artinya dia merasakan gejala kehamilan
seperti halnya perempuan walaupun gak ada janin dalam perutnya – orang rahim
aja gak punya, hehe.
Kehamilan empatik ini dialami oleh sebagian suami dengan
gejala yang beda-beda. Ada yang mual-mual walau istrinya gak mual. Ada juga
yang seperti suami saya, dia memimik apa yang saya rasakan.
Saya mual dia mual, saya gak enak badan dia juga, bahkan
saya kram dia ikutan kram. Untung pas saya pendarahan dia gak ikutan pendarahan
juga. Ketika mual-mual saya masih parah di trisemester pertama suami juga mual
sampai gak sanggup pergi kuliah dan bed rest bareng saya. Kita berdua
tergeletak di tempat tidur, lemas. Untunglah dia gak sampai muntah-muntah, cuma
mual-mual dan pusing aja. Ohya, yang lebih ajaib lagi pas saya bed rest di
rumah ummi saya di kampung dan suami tetap di Tangsel dia tetep ketularan
gejala hamil saya. Sempet terlintas dalam kepala jangan-jangan kami sebenarnya
adalah saudara kembar! Haha, mustahil. Inimah sinetron mode: ON. Lucunya dia malah bilang “Kamu kok ngikutin saya sih?” Lah…
kebalik kaliiii.
Untungnya gejala ini hilang timbul di diri suami. Kebayang
kalau dia bener-bener seperti saya yang secara konsisten selama kurang lebih
tiga bulan mual-muntah. Bakal kacau dunia persilatan, kerjaan suami bakal gak
beres. Dan gak bakal ada yang bisa ngurus rumah (nyuci piring, nyuci baju dll),
karena saya harus total bed rest.
|
Suami bersama anak jalanan |
The Culprits
Menurut buku "What to Expect When You’re Expecting" kehamilan
empatik pada suami ini sepenuhnya normal, bukan sesuatu yang aneh. Sebagian
laki-laki yang tidak membicarakannya, bukan berarti mereka tidak
mengalaminya. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan ini terjadi.
Pertama, psikologis. Rasa kasih sayang seorang suami
terhadap istrinya bisa membuat alam bawah sadar memerintahkan tubuh untuk
mengalami hal yang mirip dengan gejala kehamilan istri. Makanya gejala
kehamilan yang dialami laki-laki ini dinamakan kehamilan empatik/ gejala
simpati. Saya jadi ingat lirik lagunya Joy Tobing “Semua… karena cinta”. #Uhuk
Selain itu bisa juga disebabkan oleh kegelisahan dicampur
dengan perasaan excited akan menjadi ayah. Jadi ketika menyaksikan istri hamil,
perasaan ini juga membuat sang suami merasakan gejala kehamilan juga.
Kedua adalah faktor hormonal. Percaya gak sih bahwa bukan
hanya hormon perempuan yang bergejolak ketika dia hamil, namun hormon suami
juga ikut bergejolak. Percaya gak percaya, penelitian menunjukkan hal demikian.
Jadi, laki-laki memiliki hormon perempuan yang bernama
estradinol dalam jumlah yang sangaaat sedikit dalam tubuhnya. Nah, hormon ini
meningkat ketika sang istri hamil. Peningkatan jumlah hormon ini membuat
intsting atau naluri kebapakan laki-laki menguat. Sehingga laki-laki akan siap
menghadapi tangisan bayi, mengganti popok dan lainnya.
Ohya hormon ini juga bisa membuat perut seorang suami agak
membuncit dan berat badannya naik sedikit. Tapi tenang aja, ketika istri
melahirkan perut buncitnya juga akan berangsur-angsur kempes.
Subhanallah, luar biasa bagaimana Allah yang maha pengatur
menciptakan hal ini. Walau tidak ada kabel penghubung antara tubuh istri dan
suami tapi Allah membuat kondisi fisik istri berpengaruh pada fisik suami.
Amazing, right?
Berdamai Dengan Kehamilan Empatik
Setiap suami tentunya mengalami tingkatan kehamilan empatik
yang beda-beda. Jika tidak menganggu ya, let it be. Itu alami dan normal. Namun,
kalau sudah menggangu seperti kasus suami saya yang sampai sempet ikutan bed rest
juga, hal ini bisa dilakukan:
Ngobrol. Katakan pada suami bahwa kita baik-baik saja dan dia tidak perlu terlalu khawatir. Pas
trisemester pertama saya bilang ke suami gini, “Mas, saya tahu kamu sayang sama
saya. Tapi kamu yang sehat ya, itu akan lebih membantu saya saat-saat ini. Saya
lebih tenang kalau kamu sehat.” Dan kalimat-kalimat lainnya yang gak perlu
ditulis di sini (nanti pada muntah pelangi, huehe). Besoknya suami gak
mual-mual lagi. Wow. Tapi ya gitu, gejalanya masih hilang timbul walau gak
separah pas di awal saya hamil. Inget, faktor penyebabnya bukan hanya
psikologis tapi juga hormonal. Ketika faktor psikologis bisa diatasi masih ada
faktor hormonalnya.
Sebenernya saya sering merasa lucu sih, dan sering ngetawain
suami pas lagi kumat. Misalnya pas dia ketularan kram, saya terkekeh kekeh
ngeliat ekspresinya.
Lalu, gimana kalau suami gak mengalami sedikit pun gejala
kehamilan empatik? Apakah dia gak cinta? Apakah naluri kebapakannya gak ada?
Tenang… tenang… ketika suami tidak mengalami gejala
kehamilan empatik kita tidak bisa menuduhnya tidak cinta atau tidak punya
naluri kebapakan. Ingat, setiap tubuh manusia itu berbeda. Bagaimana alam bawah
sadar merespon sesuatu, bagaimana tubuh merespon perubahan hormon itu berbeda antara
satu orang dengan orang lainnya.
Ibu hamil aja ada yang gak mual-muntah sama sekali kan? Atau tidak mengalami gejala kehamilan lainnya yang umum terjadi. Ibu-ibu tersebut tentunya tetep
punya naluri keibuan terhadap anaknya dan tetep jadi ibu yang baik. Setiap
kehamilan berbeda, dan setiap suami berbeda pula meresponnya.
Bisa juga, suami gak sadar mengalami gejala kehamilan
empatik. Misal, dia pikir dia masuk angin sehingga mual-mual atau dia pikir
kebanyakan makan sehingga jadi buncit padahal ada faktor hormon juga di
dalamnya.
Hal yang terpenting, baik mengalami gejala kehamilan empatik
atau tidak setiap suami wajib jadi suami siaga. Enjoy your pregnancy, moms!