Cerita Trisemester Pertama: USG
Kadang,
ketika nasib terlihat buruk saya berfikir bahwa Allah marah. Apalagi
kejadiannya setelah saya kesel sama suami. Tapi suami bilang, “Enggak, kamu
kan marahnya karena Allah juga.”
Kita tidak pernah tahu sebenarnya. Sebagai hamba yang kita bisa lakukan adalah berprasangka baik pada Allah, bahwa semua kejadian ini karena Allah sedang mendidik kita untuk menjadi individu yang lebih baik. Dan pasti ada kemudahan-kemudahan setelah kesulitan.
Seumur hidup
saya gak pernah kecelakaan motor, juga gak pernah celaka gara-gara pakai jilbab
(abaya) lebar. Sekalinya kejadian pas ketika saya sedang hamil, luar biasa
sekenario Allah untuk hamba-Nya. Pahit manis bisa datang disaat yang sama.
Kedua, bagi muslimah yang berbaju lebar lebih baik duduk ngangkang (cangegang, ceuk orang Sunda mah), posisi ini lebih stabil ketika dibonceng dan lebih kecil kemungkinannya baju masuk ke jari-jari motor, tentunya pakai celana panjang longgar di dalam baju biar bentuk betisnya tidak terlihat jika baju agak terangkat.
Ketiga, hindari naik motor ketika lelah. Hal
terakhir ini bukan hanya berlaku bagi yang membonceng tapi juga yang dibonceng,
karena berbahaya sekali ngantuk ketika dibonceng motor. Seandainya konsentrasi
saya penuh saat itu, saya pasti megang baju saya supaya tidak berkibar-kibar.
Semoga kita
semua selalu aman dalam berkendara ya. Amiiin.
***
Nah, ini lanjutan cerita saya kemarin. Bagi yang belum baca kisah sebelumnya, silakan baca di sini: Cerita Trisemester Pertama: Test Pack
Saya
menunggu-nunggu suami di kamar untuk memberitahukan kabar kehamilan saya. Saya
bungkus alat uji kehamilan itu dengan tisu bersih. Ketika suami datang saya
berikan test pack itu dan saya ingat dia mengucap “Alhamdulillah…”
Tidak lama setelah itu kami sama-sama online, buka google dan mencari tahu apa efek samping rontgen pada janin. Walaupun saya sudah mengantisipasi akan menemukan informasi yang tidak mengenakkan tetap saja hasil pencarian bikin jantung saya serasa diremas. Abortus, cacat pada janin… katanya. Salah satu hasil pencarian berkata seperti ini:
“Pada prinsipnya, dampak radiasi terhadap janin tergantung pada 2 faktor utama, yaitu tahap perkembangan janin dan dosis radiasi yang diberikan.Minggu ke-3 hingga minggu ke-8 kehamilan, merupakan fase pembentukan organ pada janin, sehingga paparan radiasi bahkan pada dosis yang sangat rendah (0,1 Gray atau 10 Rad) pun, dapat menyebabkan abortus maupun cacat bawaan. Kelainan yang ditimbulkan tergantung pada sistem organ yang sedang dibentuk pada saat terjadinya radiasi.”Sumber: http://www.tanyadok.com/tekno/rontgen-saat-kehamilan-dapat-menyebabkan-cacat-pada-bayi-benarkah
Malam itu
rasanya tegang sekali. Ditengah-tengah ketegangan itu untuk menghibur suami dan
diri saya sendiri, saya bilang “Mas, kita berdua gak mandul! Alhamdulillah, saya bisa hamil alami. Berarti kamu gak perlu tes sperma, saya gak perlu
tes ini itu lagi, kita gak usah nabung lagi untuk biaya tes, kita nabung untuk
yang lain aja. Berarti kita juga gak perlu inseminasi atau bayi tabung. Saya
bisa hamil, kita berdua gak mandul.” Suami mengucap syukur. Memikirkan hal ini rasanya melegakan, misteri tiga tahun tentang bisa hamil atau tidak selesai.
Lalu kami pun merencanakan untuk periksa ke dokter kandungan esok paginya.
Lalu kami pun merencanakan untuk periksa ke dokter kandungan esok paginya.
Senin, 1
Juni
Sekenario
Allah memang rapi, jadwal kuliah suami hari itu digeser dosennya. Sebelum berangkat ke
dokter saya minum dua tablet asam folat @400 mcg. Sepertinya alam bawah sadar yang penuh harap mendorong saya
untuk melakukan itu. Sementara bagian tergelap dari pikiran saya berfikir bahwa
saya pergi untuk mengetahui sekenario terburuk: keguguran. Bahkan, bagian yang lebih gelap lagi berfikir digugurkan saja kalau ada resiko cacat yang parah, mumpung belum 40 hari, belum ditiupkan ruhnya. Untunglah, yang dominan adalah sisi-sisi terang, sisi ini yang membuat saya makan dengan baik dan minum asam folat pagi itu. Harapan yang membuat kita bertahan hidup dan mempertahankan sebuah kehidupan, bukan?
Kami pun berangkat ke RSIA Vitalaya yang tidak jauh dari rumah. Sayang, ternyata di sana gak ada Obgyn yang praktek pagi, adanya sore dan malam. Dokternya pun laki-laki semua. Melihat saya gusar, suami minta saya duduk tenang dulu di lobby dan cek jadwal dokter di RS lain.
Kami duduk dan sama-sama online di lobby, cek jadwal dokter di RS lain. Ternyata di RS tempat
saya rontgen kemarin ada dua Obgyn yang praktek pagi. Laki-laki dan perempuan. Kebetulan
hari itu suami juga harus mengambil
hasil foto rontgen dan analisis di RS yang sama. Tadinya suami akan ambil
sendirian karena tempatnya jauh, tapi karena di sana ada Obgyn praktek pagi
akhirnya kita berdua ke sana.
Di ruang tunggu dokter antriannya banyak. Dengan tampang saya yang masih penuh luka dan dagu diperban saya merasa pasien lain mencuri-curi pandang ke arah saya. Belum lagi sekali kali saya mengusap mata yang berkaca-kaca, bahkan sempet juga saya berhuek-huek karena mual. Tambah deh bikin orang lirik-lirik. Awkward moment.
Suami pergi ke ruang radiologi untuk mengambil foto dan analisis rontgen kemarin. Di sana dia menanyakan berapa dosis sinar yang dipakai untuk memfoto saya kemarin, juga mengabari bahwa saya hamil.
Mengetahui hal itu, petugas resepsionis radiologi memanggil petugas yang kemarin memfoto saya untuk konfirmasi. Mau tahu apa jawaban dia ketika dikonfirmasi? Dia bilang kalau sudah menanyakan apakah saya hamil atau tidak dan saya jawab tidak.
Ketika suami kembali ke ruang tunggu Obgyn dia nanya ke saya apakah ditanya tentang kehamilan. “Enggak” jawab saya. Saya tanya balik suami, apakah dia dengar saya ditanya hal itu dan mendengar saya jawab tidak. Suami bilang dia tidak dengar. Padahal suami berada di dekat saya terus saat itu, membantu saya ganti baju sebelum foto. Dia keluar ruangan sesaat sebelum saya mulai difoto. Setelah suami keluar ya langsung jeprat jepret. Tidak ada tanya jawab lagi dengan petugas, cuma instruksi saya mesti menghadap kemana. Entahlah ya, apakah karena kami berdua sama sama syok sampai melupakan bahwa percakapan itu pernah terjadi, atau sang petugas bersikap defensif karena merasa bersalah? Tapi, bukankah sejak di klinik dan di IGD kami berdua sudah bilang ke dokter bahwa saya kemungkinan hamil? Kenapa saya jawab tidak, kalau petugas itu benar-benar bertanya?
Ohya, setelah ditanyakan petugas memberikan keterangan bahwa dosis sinar X yang dipakai kemarin adalah 50 rad. Lemas saya ketika diberitahu suami. Kenapa? Silahkan baca penjelasannya di sini: Menjalani Pemeriksaan Rontgen Ketika Hamil
Setelah dua jam menunggu akhirnya Nyonya Frida dipanggil. Kami bertemu dengan dr. Winda dan menceritakan semuanya dengan ringkas. Ketika di USG, terlihat ada sesuatu di dalam rahim. Kata dr. Winda itu kantung ketuban, jadi saya memang benar-benar hamil.
Rasanya senang banget, saya pernah dua kali periksa ke Obgyn dan selalu melihat rahim itu kosong. Lalu tiba-tiba ada calon makhluk hidup tumbuh di sana. Amazing.
Kantung
ketuban itu ukurannya sudah 5 mm, posisinya menempel di bagian atas rahim yang
artinya bagus. Sementara embrionya sendiri masih belum terlihat karena usia
kehamilan masih 4 minggu. Selama USG beliau banyak nanya-nanya dan
mendeskripsikan kondisi rahim saya, juga kedua indung telur saya. Sejauh ini
dr. Winda adalah obgyn yang paling deskriptif yang pernah saya temui.
Dokter-dokter sebelumnya, ketika saya promil, gak pernah mengatakan hal-hal
yang dikatakan dokter Winda.
Beliau menyarankan saya untuk tetap berfikir positif, makan sehat dan banyak minum. Ada kasus-kasus seperti saya yang bayinya selamat dan tanpa kurang suatu apapun. Tapi, tidak dipungkiri kehamilan ini memang beresiko. Untuk memastikan lagi, dia menyarankan saya untuk screening di minggu ke 13. Kami juga diskusi tentang scoliosis saya, dia bilang banyak sekali perempuan dengan scoliosis yang hamil sehat dan bisa melahirkan normal, walau ada juga yang tidak bisa. Setelah selesai diskusi, beliau meresepkan prenatal vitamin untuk satu bulan.
Bertemu dr. Winda membuat kami lumayan lega. Ada harapan untuk mempertahankan kehamilan ini. Alhamdulilllah, segala puji hanya bagi Allah. Stay strong honey, we’re waiting for you *elus elus perut*
Jadi ingat sebuah anonymous quote:
“The longer you wait for something, the more you will appreciate it when you get it. Cause anything worth having, is definitely worth waiting.”
***
Minggu itu kami fokus memulihkan luka-luka pasca kecelakaan dan menjaga si calon bayi. Tiga hari sekali saya harus kontrol dan ganti perban di klinik Sehati dengan dokter Faisal. Kami sempat dimarahin sama dokter Faisal ketika tahu saya di rontgen. Dia kecewa sama kami berdua (loh?). Tapi sudahlah, mungkin memang salah kita juga yang kurang cerewet sama nakes waktu itu.
Saya juga mulai muntah-muntah tiap hari. Selain itu saya beberapa kali menemukan bercak darah di celana dalam. Cuma, saya santai aja karena menurut buku yang saya baca spotting di awal kehamilan itu normal. Seminggu kemudian, beberapa hari sebelum Ramadhan darah itu semakin sering muncul dan bukan bercak lagi, tapi lendir darah segar. Melihat itu jantung berdetak cepat, mata berair lagi.
Bersambung
…
8 comments
aduuuhh.. bersambung lagiii mbaak fridaa..
REPLYbaiklah saya nantikan lanjutannya yaa.. colek.lagi dongs kalo udah ada lanjutannya.. sehaat sehat bumil
Alhamdulillah...
REPLYKalo ada bercak darah langsung konsultasi mak,semoga ibu dan debay dalam perut sehat2 ya aamiin...
salam kenal mak^^
semoga semua baik-baik saja yaa
REPLYSemangat fridaa sehat2 terus ya semuanya. Hingga tiba waktu melahirkan
REPLYSemoga selalu sehat ya, mba. Bacanya ikut deg-degan.
REPLYHati2 mba.. iya lebih baik emang duduk menghadap depan kalo naik motor. Lebih seimbang. DAlemnya kasih legging panjang aja mbaa
REPLYwah..semoga calon debaynya sehat2 aja ya mba...
REPLYsemoga semua baik-baik saja....deg-degan bacanya....
REPLY