Rumah Sakit Tanpa Kasta, Tanpa Biaya
Oleh: Frida Nurulia
Namanya Bimaristan
Bimaristan adalah kata dari bahasa Persia yang bearti “rumah
orang sakit”. Bahasa ini diserap ke dalam bahasa Arab dan digunakan untuk
menamai tempat merawat orang-orang sakit. Jadi, rumah sakit dalam bahasa Arab klasik disebut bimaristan dan bentuk jamaknya adalah bimaristanaat. Namun, pada masa sekarang rumah sakit dalam bahasa Arab disebut mustasyfa.
Buku paling tua dalam sejarah Islam yang mencatat tentang
rumah sakit adalah Kitāb fii sifāt al-biimāristān (Buku Tentang Karakteristik Rumah Sakit) karya Ar-razi, seorang dokter yang pernah menjadi
kepala rumah sakit di kota Rayy dan Baghdad pada abad ke 10 M.
Berawal dari Jundishapur
Sebelum Islam lahir sudah ada peradaban Persia dan Rowami
yang besar dan maju. Majunya peradaban mereka termasuk di bidang kesehatan.
Pada tahun 325 M kerajaan Romawi mulai membangun rumah sakit untuk pertama
kalinya. Lalu dua abad kemudian, yaitu pada 529 M dibangun rumah sakit (bimaristan)
di Persia, tepatnya di kota Jundishapur. Di Jundishapur tidak hanya terdapat
rumah sakit namun juga sekolah kedokteran dan laboratorium farmasi.
Ketika pasukan Islam menakhlukkan Judhishapur pada 638 M rumah
sakit dan sekolah tidak diusik, malah didorong untuk terus berkembang. Selama
sekitar 100 tahun Jundishapur adalah satu-satunya tempat umat Islam mempelajari
ilmu kedokteran. Salah satu dokter yang terkenal lulusan Akademi Jundishapur
adalah Bukhtishu, seorang Kristen Nestorian. Keturunan-keturunan Bukthisu
sampai enam generasi (sekitar 250 tahun) juga menjadi dokter. Bahkan, beberapa dari mereka menjadi dokter
pribadinya Khalifah.
Rumah Sakit Pertama
Al-Walid Ibnnu Al-Malik, khalifah pada masa Umayyah, membangun rumah sakit pertama di Damaskus pada tahun 707 M. Dilengkapi dengan staf dokter dan apotek yang cukup lengkap, rumah sakit
ini merawat orang buta, cacat dan kusta. Khusus untuk penderita kusta disediakan tempat
perawatan khusus. Karena hal ini juga sebagian sejarahwan menganggap rumah
sakit ini hanyalah tempat perawatan orang kusta, bukan rumah sakit sebenarnya.
Rumah sakit pertama yang menjalankan fungsi rumah sakit ideal
dibangun oleh Harun ar-Rasyid pada akhir abad 8 M. Seorang dokter Kristen dari
keluarga Bukhtishu yaitu Jibrail bin Bukhtishu dipanggil dari Jundishapur untuk
mengepalai Rumah Sakit Baghdad ini.
Rumah Sakit Baghdad ini menjadi poros baru aktivitas medis
dan pusat perkembangan ilmu Kedokteran Islam, menggantikan Jundishpur. Rumah Sakit
Baghdad selanjutnya dikepalai oleh Yuhanna bin Masawyh dan menjadi model
sejumlah rumah sakit lainnya yang dibangun di Baghdad. Salah satunya yang
paling terkenal adalah Rumah Sakit Aududi.
Rumah Sakit Aududi dibagun oleh ‘Adud ad-Dawlah, seorang
Khalifah Abassiyah, di Baghdad. Rumah sakit ini dibangun pada abad 10 M dan
proyek pembangunannya dipimpin oleh Muhammad bin Zakariya Ar-razi.
Cara Ar-razi memilih tempat pembangunan rumah sakitnya cukup
unik, ia menggantungkan daging metah di beberapa tempat di Baghdad. Daging-daging
itu diamati dan dicatat yang mana yang paling lambat membusuk. Tempat daging
yang paling lambat membusuk itulah yang diajukan Ar-razi pada khalifah sebagai tempat rumah
sakitnya.
Ketika baru berdiri, Rumah Sakit Aududi mempekerjakan 24
dokter yang termasuk di dalamnya dokter spesialis fisiologis, mata, bedah dan
tulang. Seseorang bernama Zubair yang mencatat tentang rumah sakit ini
mengatakan bahwa RS Aududi terlihat seperti kastil yang sangat besar, mendapatkan
suplai air dari sungai Tigris dan perlengkapannya seperti perlengkapan di istana raja.
Rumah sakit lainnya
Rumah sakit pada masa khilafah tidak hanya berdiri di Baghdad tapi juga dibanyak kota lainnya. Mulai dari Maroko sampai India. Misalnya
Rumah Sakit Nuri di Damaskus yang dibangun oleh Nur ad-Din al-Zanji dari uang
penebusan raja Frankish pada abad 12 M. Rumah sakit yang mirip dengan RS Nuri
juga dibangun di Aleppo. Tidak lama setelah pembangunan rumah sakit tersebut
Salahuddin al-Ayyubi membangun RS Nasiri di Kairo. Sejak itu RS Nasiri menjadi
penghubung antara pusat kedokteran di Syria dan Mesir.
Namun, Rumah Sakit yang paling terkenal di Kairo adalah RS
Mansuri yang dibangun oleh khalifah dari dinasti Mamaluk, Mansur Qala’un pada
1284 M di bekas istana Fatimiyyah. Rumah sakit ini memiliki kapasitas 8000
orang. Tempat perawatan untuk pria dan wanita di RS ini dipisah namun dengan
fasilitas yang setara. Pria dirawat oleh tenaga medis pria dan wanita dirawat
oleh tenaga medis wanita.
Lukisan rumah sakit Al-Mansuri |
Di rumah sakit ini tempat perawatan dipisah cukup spesifik sesuai
dengan penyakitnya. Tersedia ruang bedah, bangsal untuk sakit mata, bangsal
untuk sakit demam, luka, penyakit menular dan penyakit tidak menular. Tidak
lupa, rumah sakit ini juga dilengkapi dengan apotik, laboratorium, tempat kuliah kedokteran,
perpustakaan, masjid, bahkan kapel tempat umat Kristen beribadah. Sementara
untuk menghibur pasien yang sakit disediakan pemusik yang akan menghibur dengan
terapi musik.
Semua orang bisa dirawat di sini tanpa pandang bulu juga tanpa
harus membayar sedirham pun. RS Mansuri adalah rumah sakit terbesar pada saat itu dan menjadi
percontohan untuk rumah sakit lainnya.
Pada abad ke 12 M Ya’qub al-Mansur membangun rumah sakit besar
pertama di Maroko di kota Marrakesh dan mengundang dokter-dokter terkenal
seperti Ibnu Tufail dan Ibnu Rusydi. Setelah rumah sakit ini, pembangunan rumah
sakit lainnya di Maroko bermunculan. Misalnya RS Maulay Abdurrahman di Sale pada
abad 13 yang sampai sekarang masih berdiri. Demikian juga di Tunis, Algeria dan Andalusia, banyak rumah
sakit dibangun dengan deskripsi yang termaktub di berbagai literatur.
Pada masa Usmani rumah sakit yang dibangun tetap mengikuti model
masa sebelumnya yaitu Saljuk dan Abasiyyah. Rumah sakit pertama Usmani adalah
Darul Syifa di Bursa yang dibangun pada abad 14 M. Seabad berikutnya Mahmud II
membangun rumah sakit yang menjadi bagian dari Kuliyye (kompleks universitas
yang terdiri dari madrasah, masjid dan rumah sakit).
Pada abad yang sama Bayazid II juga membangun Kuliyye.
Institusi yang dibangun oleh Bayazid II ini masih berdiri hingga sekarang. Sementara
itu di Istambul rumah sakit besar baru mulai dibangun pada abad 16 M. Walaupun
muncul lebih belakangan rumah sakit di Istambul menjadi percontohan rumah sakit
modern yang dibangun pada abad 19.
Para penjelajah juga mencatat tentang banyaknya rumah sakit
yang terdapat di India. Beberapa contoh rumah sakit yang cukup besar adalah Rumah Sakit Osmania di Hyderabad, Deccan dan
Institut Hamdard di Delhi dan Karachi.
Bukan hanya mengagumkan dari sisi fasilitas, rumah sakit pada masa
khilafah juga mengagumkan dari sisi besarnya gaji tenaga medis. Sekertaris
Harun ar-Rasyid mencatat bahwa di Jibra’il bin Bukhtishu yang mengepalai RS
Baghdad digaji 4,9 juta dirham per tahun. Sementara itu, dokter tetap dengan
waktu kerja wajib dua hari dua malam per minggu diberi honor 300 dirham
perbulan.
Dengan gaji yang sangat besar, tidak heran hidup Jibra’il bin Bukhtishu sangat makmur. Tercatat bahwa ia memiliki rumah dengan pendingin
udara di musim panas dan penghangat di musim dingin.
Petugas non medis
Pada masa kekhilafahan rumah sakit dibangun dan dilindungi
oleh khalifah, sultan atau wazir. Sementara untuk kelancaran jalannya
pengobatan terdapat Muhasib dan lembaga Hisbah. Muhasib adalah orang yang
ditunjuk oleh Khalifah untuk melindungi masyarakat dari transaksi yang
merugikan, termasuk di dalamnya terkait pelayanan kesehatan.
Sementara lembaga Hisbah mengatur hubungan antara pasien,
dokter dan apoteker. Atau dengan kata lain membuat kode etik dan mengontrolnya. Aturan-aturan
tentang rumah sakit tercatat salah satunya dalam Dokumen Wakaf.
Dalam Dokumen Wakaf disebutkan:
“Rumah sakit harus merawat pasien laki-laki dan perempuan sampai mereka benar-benar sehat. Seluruh biaya ditanggung oleh rumah sakit baik pasien datang dari jauh ataupun dekat, baik mereka penduduk asli maupun orang asing, kuat atau lemah, rendah atau tinggi, kaya atau miskin, bekerja atau pengangguran, buta atau bisu, sakit fisik atau sakit mental, terpelajar atau buta huruf. Tidak ada persyaratan untuk mempertimbangkan (apakah pasien akan diterima atau ditolak) ataupun untuk pembayaran; tidak ada yang terkena kewajiban untuk membayar ataupun secara tidak langsung dibujuk untuk membayar. Seluruh pelayanan dilakukan atas kebesaran Allah yang Maha Pemurah”
“Rumah sakit harus merawat pasien laki-laki dan perempuan sampai mereka benar-benar sehat. Seluruh biaya ditanggung oleh rumah sakit baik pasien datang dari jauh ataupun dekat, baik mereka penduduk asli maupun orang asing, kuat atau lemah, rendah atau tinggi, kaya atau miskin, bekerja atau pengangguran, buta atau bisu, sakit fisik atau sakit mental, terpelajar atau buta huruf. Tidak ada persyaratan untuk mempertimbangkan (apakah pasien akan diterima atau ditolak) ataupun untuk pembayaran; tidak ada yang terkena kewajiban untuk membayar ataupun secara tidak langsung dibujuk untuk membayar. Seluruh pelayanan dilakukan atas kebesaran Allah yang Maha Pemurah”
Dalam proses pengobatan juga tidak dibatasi berapa lama pasien dapat dirawat dan pasien dapat tinggal di RS sampai ia benar-benar sembuh. Pasien yang sudah sembuh dari penyakitnya namun masih lemah untuk keluar maka akan di transfer ke bangsal untuk orang yang pulih sampai mereka cukup kuat untuk pergi.
Sumber dana rumah sakit
Dengan fasilitas kesehatan yang begitu lengkapnya pasti
butuh biaya yang sangat besar. Jika dalam Dokumen Wakaf diatur bahwa biaya
ditanggung rumah sakit lalu dari mana rumah sakit mendapatkan dana?
Ternyata pemasukan utama rumah sakit adalah wakaf, donasi (infaq) dan
negara. Misalnya saja RS Mansuri yang saya ceritakan sebelumnya, RS ini memperoleh
pemasukan dari waqaf saja sebesar 1 juta dirham per tahun, yaitu sekitar Rp
75.000.000.000.
Epilog
Sekang mungkin banyak rumah sakit besar dengan fasilitas canggih dan dokter yang ahli. Tapi, adakah sekarang rumah sakit yang merawat tanpa kasta dan biaya seperti pada masa khilafah dulu? Adakah rumah sakit sekarang yang memberikan pelayanan untuk memuji kebesaran Allah? Saya belum menemukannya.
Saya menulis ini bukan hanya untuk membanggakan masa lalu. Apalah artinya glorifikasi jika sekarang umat Islam terpuruk? Permasalahan kesehatan yang kita hadapi memang tidak akan serta merta selesai ketika kita mengetahui sejarah Islam. Namun, pengetahuan ini menjadi cermin agar kita dapat berkaca apa yang ada dulu dan tidak ada sekarang. Membuat kita sadar apa yang membuat mereka hebat dulu dan sekarang kita tidak.
Saya menulis ini agar kita ingat dulu kita punya Khilafah yang berdasar pada aqidah Islam. Itulah yang membuat kita, umat Islam pernah hebat. Sekarang, maukah kamu kawan untuk bersama-sama memperjuangkannya?
Saya menulis ini agar kita ingat dulu kita punya Khilafah yang berdasar pada aqidah Islam. Itulah yang membuat kita, umat Islam pernah hebat. Sekarang, maukah kamu kawan untuk bersama-sama memperjuangkannya?
Kalau iya, marilah kita sama-sama hadir ke acara Muktamar Khilafah di Gelora Bung Karno pada tanggal 2 Juni 2013 nanti. :)
Rujukan
Nasr, Seyyed Hossein. 1976. Islamic Science, An Illustrated Study. World of Islam Festival Publishing Company Ltd.
Nagamia, Husain F. 2003. Islamic Medicine History and Current Practice. Journal of the International Society for the History of Islamic Medicine, Vol 2 No 4 October 2003.
Shanks, Nigel J & Dawshe al-kalai. 1984. Arabian Medicine In The Middle Ages. Journal of the royal society of medicine vol 77 january 1984.
Rujukan
Nasr, Seyyed Hossein. 1976. Islamic Science, An Illustrated Study. World of Islam Festival Publishing Company Ltd.
Nagamia, Husain F. 2003. Islamic Medicine History and Current Practice. Journal of the International Society for the History of Islamic Medicine, Vol 2 No 4 October 2003.
Shanks, Nigel J & Dawshe al-kalai. 1984. Arabian Medicine In The Middle Ages. Journal of the royal society of medicine vol 77 january 1984.
4 comments
keren, mbak... ijin share yaa :)
REPLYblogwwalking ke tempatku juga yaa...belum sekeren punya mbak. silahkan beri kritik dan saran :)
www.anakkubintangku.blogspot.com
test.. test..
REPLYbagus frid. lanjutkan..
REPLYMakasih teh. Semoga tetep konsisten nulis yang bermanfaat.
REPLY