Wednesday, May 1, 2013


Sebuah Cerpen
Oleh: Frida Nurulia

Tangan kanannya menenteng jeriken kosong dan tangan kiri menggenggam obor tinggi-tinggi, selagi kakinya melangkah hati-hati menuruni mulut gua. Segar dan dingin udara pagi menyapanya melalui hembusan angin yang semilir mengikutinya masuk ke dalam gua. Bersamanya ada sepuluh laki-laki yang masing-masing juga membawa jeriken kosong. Mereka bersebelas berjalan terbungkuk-bungkuk beriring masuk ke dalam relung-relung perut bumi, sampai ke tempat dimana terdengar riak air, buruan mereka pagi ini.


Akhirnya, setelah sekitar setengah jam perjalanan dalam gua yang licin dan lembab, terasa telapak kaki mereka basah dingin oleh genangan air. Tidak jauh dari situ, dalam keremangan pantulan pancaran cahaya obor,  terlihat riak permukaan air sungai bawah tanah yang mereka cari. Sebagaimana yang lain, perempuan itu pun mendekat ke tepian, berjongkok, dan dengan kaleng kecil yang digantungkan pada pegangan jeriken dimulainya mengisi tempat air itu.

Belum sampai setengahnya terisi ia berhenti ketika terasa kerepotan mengisi jeriken sambil memegang obor. Ia melihat sekeliling mencari ceruk untuk menenggerkan obornya. Tidak menemukan ceruk, ia pun meletakkan obornya di batu yang tak jauh dari jangkauannya. Ia memerhatikan apinya mengecil lalu ia melihat sekeliling dengan cepat dan menyadari api yang lain juga meredup, mereka tidak sadar karena sibuk mengisi jeriken-jeriken mereka.

“Pak, apinya pak…,” teriaknya pada bapak-bapak yang lain. Pemburu yang lain segera menyudahi perburuannya, namun perempuan itu buru-buru mengisi kembali jerikennya yang setengah terisi sebelum api benar-benar padam.

“Arimbi, sudah… apinya sudah hampir padam,” ujar pak Tono sembari hati-hati menggantungkan dua jerikennya ke dua ujung bambu untuk dipanggul.

Dengan jeriken yang dua per tiga terisi Arimbi menyusul yang lain. Berlari kecil dengan meninggalkan obornya yang sudah mati. Matanya mengikuti cahaya yang tidak jauh di depannya, cahaya obor di tangan teman-teman seperburuannya. Nafasnya mulai sesak dan kepalanya pusing karena kekurangan oksigen. Ternyata semilir angin di pintu gua tadi tidak mengikutinya sejauh ini.

Dian yang mereka bawa itu bukan hanya sebagai pelita, namun penanda cukup atau tidaknya udara segar. Jika redup atau mati maka mereka harus segera keluar dari perut bumi dengan atau tanpa air. Nyawa adalah taruhan bila aturan ini tidak ditaati.

Di mulut gua, Arimbi harus memanjat keluar. Semakin terasa sulit dengan jeriken yang berat. Seorang bapak mengulurkan tangannya untuk menolongnya memanjat. Alih-alih memberikan tangan, Arimbi memberikan jerikennya lalu memanjat tanpa dibantu oleh yang lain.

“Kalau mau ikut mencari air jangan pakai baju panjang begitu, NdukKan susah bisa-bisa kamu celaka.” Pak Tono menasehatinya untuk yang kesekian kali.

Enggak apa-apa Pak, insyaallah gak akan celaka kalau hati-hati. Baju muslimah seperti ini diwajibkan olehgusti Allah kan, Pak.”

“Tapikan Allah pasti ngerti kalau kamu kondisinya beda. Kamu harus nyari air setiap hari untuk hidup ke telaga sampai ke gua. Kamu gak kayak perempuan-perempuan desa lain yang airnya tinggal ngucur dari keran.”

Mendengar itu pikiran Arimbi melayang pada kisah Asma’ binti Abu Bakar yang pernah ia dengar dari guru ngajinya dulu. Tentang Asma’ yang ketika hamil memanjat tebing untuk mengantarkan makanan ke tempat persembunyian Rasulullah dan ayahnya. Ah, bukankah dulu Asma memakai baju yang mirip dengan yang ia pakai sekarang? Sepotong baju terusan yang lebar yang menutupi seluruh tubuhnya dan kain kerudung yang menutup kepala sampai ke dada. “Jika Asma’ mampu karena keimanannya, mengapa ia tidak?” Ucapnya dalam hati. Ia hendak menuturkan apa yang baru saja ia pikirkan, namun napasnya terengah lelah. Akhirnya, ia hanya tersenyum.

Hari itu adalah hari pertamanya berburu air sampai ke dalam gua. Juga hari keempat setelah bapaknya meninggal. Tiga hari pertama setelah bapaknya meninggal ia dan ibunya masih dapat ransum air dari tetangga-tetangga. Namun, ia dan ibunya tidak bisa bergantung terus pada orang lain. Bagi mereka yang hidup di tanah gamping yang kering kerontang air lebih berharga dari emas. Setiap orang butuh untuk bertahan hidup dan setiap keluarga harus mencari airnya masing-masing.

Di rumah kayunya yang sederhana, Arimbi menuangkan sebagian air yang ia dapatkan ke dalam panci untuk dimasak. Sambil menunggu airnya matang ia mencuci piring lalu air bekasnya ia tampung untuk menyiram beberapa pot tanaman sayur di halaman rumah.

Ndukklambimu dak cekake ya,”[1] ujar ibunya dari kamarnya di sebelah dapur.

Eee ojo Bu…!”[2]           

Ben gampang kanggo mlaku,[3] baju kurung kepanjangan begini kan susah buat ngangkut air nanti bawahnya basah bajunya jadi berat.”

Gak kepanjangan kok bu, memang baju muslimah itu kan harus menutupi sampai ujung kaki, kalau basah nanti juga kering lagi.”

“Kamu itu kok ngeyel dinasehatin orang tua sih? Ibu kan gak mau kamu celaka. Sering mengaji kok bisanyangelawan orang tua saja.”

Arimbi masuk ke kamar ibunya dan bersimpuh, “Ampun, Bu. Tidak ada maksud anakmu ini untuk melawan, tapi baju kurung ini memang diwajibkan gusti Allah, Bu ayatnya dari al-Qur’an….”

“Iya Nduk, tapi di tanah kapur ini mencari air harus turun ke gua. Susah kalau baju begini.”

“Allah pasti ngasih kekuatan dan kemudahan, Bu. Insyaallaah. Ibu tau kisah Asma’ anaknya khalifah Abu Bakar, Bu?” Tanya Arimbi dengan sopan pada ibunya. Tak lama kemudian ia pun menghabiskan sore itu dengan bercerita kepada ibunya tentang kisah Asma’ dengan dua ikat pinggangnya.

Tanah gamping, sebutan mahasiswa dan peneliti yang pernah ke Gunung Kidul Selatan pada tanah yang mereka injak. Tanah yang permukaannya Allah ciptakan tidak bisa menampung air namun langsung diresapnya. Membuat penduduknya harus masuk ke dalam relung-relung perut bumi untuk mencari air. Membuat penduduknya berlarian menaruh baskom di halaman rumah ketika hujan dan membuat mereka menciduk air dari beberapa telaga susut yang kotor jika kebetulan terisi oleh hujan.

Semua kesulitan itu Arimbi sadari sebagai tantangannya yang akan dihadapinya setelah kematian bapaknya. Tidak terpikir olehnya untuk melepaskan pakaian muslimahnya hanya agar lebih mudah mengangkut air, apalagi meninggalkan ibadah-ibadah lain yang bersentuhan dengan air, wudhu dan mandi wajib.

Esok paginya Arimbi bersiap-siap untuk berburu air lagi. “Nduk, pakai ini,” ucap ibunya sambil memberikan sepotong kain jarik lalu mengajarkan Arimbi untuk memanggul jeriken dipunggung dengan menggunakan kain itu, seperti menggendong anak balita. Dengan cara ini 15 kilo berat air akan terasa lebih ringan daripada ditenteng. Apalagi pagi ini tempat perburuan mereka adalah gua yang jauh lebih dalam dari kemarin. Pak Tono memberitahukan hal itu subuh tadi ketika shalat di musala. Bapak Arimbi dulu pernah bercerita bahwa air dari gua ini terletak 100 meter lebih dari permukaan luweng  atau mulut gua ditambah kondisi jalannya curam. Itu bearti Arimbi harus menempuh medan yang lebih sulit dibandingkan hari kemarin.

Di teras rumah ia mencium tangan ibunya, “Doakan Arimbi ya, Bu. Semoga hari ini jerikennya penuh.”
“Ibu mendoakan agar kamu selamat, Nduk.

Arimbi tersenyum dan mengucapkan salam. Di perjalanan pak Tono mengingatkan lagi supaya Arimbi berhati-hati ketika masuk menuruni gua dan naik untuk keluar, “Jangan sampai ujung bajunya terinjak dan terpeleset, Nduk” tambahnya diakhir nasihat. Arimbi tersenyum dan mengiyakan lalu ia melambatkan langkahnya untuk menjaga jarak dari rombongan laki-laki.

Di mulut gua Arimbi melepaskan sendalnya dan mengencangkan ikatan kain jarik di punggungnya sebelum menuruni luweng. Ia lalu melangkahkan kaki dengan berhati-hati agar tidak tergelincir. Tangannya mencengkram dinding gua agar keseimbangannya terjaga di landasan yang kemiringannya lebih miring daripada talenan yang disandarkan pada anak tangga. Ia menatap ke depan dan  hanya menemukan pantulan-pantulan cahaya dari obor yang dipantulkan batu gua. Kali ini ia tidak membawa obor sehingga ia bergantung pada obor rombongannya. Sebagian besar anggota rombongan sudah terlebih dahulu sampai di sungai bawah tanah dan menunggu sisanya. Setelah cukup lama Arimbi menuruni gua akhirnya ia sampai, kupingnya menangkap suara aliran air yang dipantulkan dinding-dinding gua.

Ternyata air disana lebih banyak daripada dari gua kemarin. Cepat-cepat mereka semua memenuhi jeriken-jeriken yang mereka bawa sebelum udara segar di sana menipis. Alhamdulillah, kali ini mereka beruntung dapat mengisi penuh jeriken dan api di obor masih berkibar-kibar. Namun, jeriken yang terisi penuh juga bearti beban mereka untuk keluar lebih berat, apalagi bagi Arimbi.

Bismillah,” ucap bibir Arimbi sebelum mulai memanjat keluar. Dengan kuat ia mencengkam batu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegangi baju panjangnya agar tidak terinjak. Lalu ia pun mulai melangkahkan kakinya. Dengan beban 15 kilo di punggung ia berusaha sekuat tenaga menjaga keseimbangan. “Ya Allah kuatkan aku,” lirihnya pelan. Badannya membungkuk, sebelah tangannya yang memegang baju ia gunakan untuk mengusap keringat di dahi lalu mulai melangkah lagi.

“Aaaa!!!” teriak arimbi ketika keseimbangannya hilang karena menginjak ujung bajunya ketika mengambil langkah tanpa mengangkat sedikit bajunya. Bruk! Badannya terhempas. Refleks tangannya melindungi kepalanya ketika badannya melayang jatuh ke depan, terbentur batu yang keras dan tajam. Sakit. Nyeri.

Anggota rombongan lain yang belum terlalu jauh kembali untuk menolongnya.
“Ya Allah…. Nduk, kamu ndak apa-apa?” tanya seorang bapak.

Ndak apa-apa, Pak.” Arimbi mencoba duduk dan ia merasakan sakit yang sangat di tangan dan lututnya. Setelah berhasil duduk dibantu orang lain buru-buru ia mengecek air bawaannya. Ternyata jeriken itu sudah ditutup cukup kuat sehingga tidak tumpah.

Seseorang diantara mereka menyarankan Arimbi tetap disana. Dia menawarkan untuk membawakan jeriken Arimbi setelah ia terlebih dahulu menaruh jerikennya di luar gua. Sementara pak Tono, tetangganya sekaligus pamannya dari pihak ibu menemaninya menunggu.

“Alhamdulillah,  ucap Arimbi dalam hati. Ia bersyukur karena diri dan airnya masih selamat. Tapi masih ada besok, lusa dan esoknya lagi yang harus para pemburu air ini tempuh untuk berjuang mendapatkan air. Ah, sampai kapan kami akan sesulit ini untuk sekadar minum? Pikirnya. Sambil menyandarkan punggungnya yang kini tanpa jeriken di dinding gua, ia teringat ayat-ayat al-Insyirah. Fa inna ma’al usri yusroo, inna ma’al ‘usri yusroo[4]. Satu hal yang ia yakini, keadaan ini suatu saat pasti berakhir, kemudahan itu pasti akan datang. Namun, entah kapan waktu itu tiba.


Tanah kering di Gunung Kidul


***


[1] Nak, bajumu ibu pendekin ya.

[2] Eh jangan, Bu.

[3] Biar gampang kalau jalan.

[4] Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Cerpen ini menjadi juara I dalam lomba Menunis Cerpen di ajang Muslimah Festival 2013

Cerita-cerita Frida Designed by Frida Nurulia